Seperti yang Sobat Pesona ketahui, Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg. Nah, gudeg itu sendiri merupakan masakan yang berbahan utama nangka muda atau oleh warga lokal disebut gori. Dalam prosesnya, potongan daging nangka ini direbus dengan gula merah dan santan dengan api kecil selama beberapa jam. Percaya atau tidak, gudeg akan lebih nikmat rasanya dimasak dengan menggunakan periuk tanah liat di atas tungku.
Bawang putih, bawang merah, kemiri, biji ketumbar, lengkuas, daun salam, dan daun jati adalah deretan rempah-rempah yang biasa ditambahkan pada masakan gudeg. Menariknya, daun jati ini ditambahkan untuk menciptakan warna merah kecoklatan pada kudapan ini. Gudeg Yogyakarta kebanyakan hadir dengan rasa yang manis, sehingga sering disebut sebagai nangka rebus yang manis.
Berbeda dengan makanan-makanan barat yang cenderung menawarkan makanan siap saji, Gudeg adalah contoh sempurna dari cara memasak ala Jawa yang cukup detail dan memakan waktu yang cukup lama, bahkan sampai seharian! Eits, tapi jangan salah! Proses memasak gudeg ini ternyata memiliki nilai filosofisnya tersendiri, lho! Ya, memasak gudeg dipahami sebagai cerminan sempurna dari filosofi Jawa yang penuh nilai ketenangan, kesabaran dan teliti, tidak terburu-buru dan anti-sembrono.
Sama seperti makanan Indonesia lainnya, gudeg juga bisa disajikan bersama nasi. Makanan-makanan pendamping lain yang biasanya disajikan bersama gudeg di antaranya adalah sambal goreng krecek (kulit sapi garing yang digoreng dengan cabe dan kacang), opor ayam, telur pindang, dan tempe tahu bacem (tahu dan tempe kukus).
Secara umum, ada dua jenis gudeg yang bisa Sobat Pesona temukan di Yogyakarta, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah disajikan dengan kuah santan. Sedangkan, gudeg kering disajikan tanpa kuah dan tampak lebih coklat, serta terasa lebih manis. Dalam proses memasaknya, gudeg kering juga memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan gudeg basah karena harus dikeringkan. Namun, keunggulannya jenis gudeg kering ini lebih tahan lama, bahkan bisa hingga 24 jam di lemari pendingin. Selain kedua jenis gudeg tadi, Yogyakarta juga punya jenis gudeg lain yang disebut gudeg manggar. Bedanya, gudeg ini tidak menggunakan nangka muda sebagai bahan utamanya, melainkan bunga kelapa atau yang biasa disebut manggar oleh warga lokal.
Selain di Yogyakarta, Sobat Pesona juga bisa menemukan jenis gudeg lain dari kota tetangganya, Solo. Gudeg asal Solo ini lebih berkuah karena ditambahkan lebih banyak santan dan warnanya pun cenderung putih. Hal itu terjadi karena gudeg Solo tidak mengandung daun jati yang dapat memberikan warna merah kecoklatan pada gudeg, tak seperti gudeg khas Yogyakarta.
Gudeg bisa ditemukan di hampir seluruh sudut kota Yogyakarta, namun tempat gudeg yang paling populer adalah Wijilan dan Barek. Wijilan terletak tidak terlalu jauh dari keraton Yogyakarta dan bisa didatangi dengan menggunakan becak atau berjalan kaki dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dari keraton Yogyakarta. Ada lebih dari 17 restoran di Wijilan yang menjual gudeg dengan cita rasa istimewa. Pusat gudeg lainnya ada di Barek, tempat lokasinya terletak di bagian utara kota Yogyakarta, dekat Universitas Gadjah Mada. Di sini juga ada banyak restoran dan warung-warung pinggir jalan yang menawarkan makanan legendaris gudeg untuk Sobat Pesona cicipi.